Terdengar langkah tersaruk seseorang, nampaknya ia ingin
mendahului fajar untuk tiba di suraunya. jarak rumahnya yang tak terlalu jauh
dari surau itu terasa menjadi perjalanan panjang dan melelahkan. Jelas saja,
hanya Mbah Dudung yang melakukannnya seorang diri, dengan langkahnya yang sudah
tidak tegap lagi karena termakan usia. Namun apa daya, hanya Mbah seorang yang
menghidupkan surau tersebut. Beliau merasa memiliki tanggung jawab atas rumah
Allah tersebut.
Surau itu, tempat yang menurut Mbah Dudung mungkin tempat
terindah. Walau hanya berdindingkan bilik dan hanya di sangga oleh kayu-kayu
yang telah lapuk. Dan mungkin sebagian orang mengatakannya sudah tak layak,
namun tetap dengan hati yang teguh nan setia, Mbah Dudung menjaganya. Membersihkan
surau, menjadi muadzin, menjadi imam shalat itulah Mbah Dudung. Biasanya, setelah
selesai membereskan Surau dan shalat tahiyyatul masjid, beliau langsung saja
mengambil microfon bututnya untuk segera mengumandangkan adzan bila telah tiba
waktunya shalat. Speaker mesjid itu, sudah berapa tahun umurnya, rasanya sudah
sangat tua sekali, akan tetapi masih berfungsi untuk memanggil orang untuk
shalat berjamaah di surau kecil tersebut. Namun entah kenapa, tak jarang
panggilan tersebut di abaikan sama sekali, sekalinya ada yang mau shalat
berjamaah di surau, hanya ada satu atau dua orang.
Inikah Globalisasi? Yang orang sebut awal kemajuan
tekhnologi dan Informasi? Tekhnologi dan Informasi bisa saja maju akan tetapi
yang Mbah Dudung rasa adalah penurunan Iman dan Taqwa warga kampung. Setelah ada
televisi di kampung ini tak sedikit yang menjadi lalai dalam shalatnya, dan
semakin menjamurnya televisi semakin jarang juga yang pergi ke surau untuk
shalat berjamaah. Astagfirullah...
Rasanya baru kemarin,
ia dan dua anak lelakinya pergi ke surau bersama. Menghidupkannya dengan
warna-warna dan semangat ibadah yang mereka miliki. mengajari anak-anak desa
mengaji, shalat berjamaah itulah warna yang mereka berikan. Ketika kedua anak
lelakinya tumbuh menjadi remaja yang
amat santun, menjadi lelaki surau sepeti ayahandanya mereka memutuskan untuk
merantau, namun miris. Imran, sang kakak menjadi korban kecelakaan pada saat
hendak merantau, sedangkan Furqan sang adik tak terdengar lagi kabarnya hingga
sekarang. Jadilah, Mbah Dudung, lelaki tua itu, kini sendiri. Setelah lama
ditinggalan oleh wanita pujaannya sejak melahirkan Furqan, Mbah Dudungpun harus
merasakan betapa sulit menjadi Ayah yang sekaligus Ibu untuk kedua anaknya.
Segera Mbah Dudung melakukan shalat tahiyyatul masjid ketika
sampai di surau temaram itu. hanya dengan di terangi lampu 5 watt surau itu
bisa menyala, sedangkan banyak rumah-rumah warga yang telah memiliki penerangan
lebih baik daripada itu, Ironis memang, namun inilah realitanya.
Khusyunya shalat Mbah Dudung akhirnya di akhiri dengan
salam, lalu terdengarlah alunan Dzikir nan syahdu dari mulutnya. Ingatannya
benar-benar sepenuhnya di isi oleh sang khalik mengingat betapa hidup ini fana
dan hanyalah sandiwara belaka untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
“Astagfirullah” Mbah Dudung berkali-kali beristigfar, seraya
menitikan air mata berharap ampunan Khalilknya di masa senja hidupnya.
****
“Apa hari ini kau dengar adzan subuh?” Ujar Pri kepada Ipul
setelah meneguk kopi panasnya
“Engga mas, Biasanya kan yang adzan Mbah Dudung tapi gak
tahu kemana beliau pagi ini” timpal Ipul
“Apa beliau sakit yah?” Selidik Pri,
“Tapi aku mendengar langkahnya tadi pagi, seperti biasanya.
Aku yakin betul itu langkah Mbah Dudung orang tiap hari lewat rumahku kok kalau
mau ke surau” Tri bergabung dalam perbincangan itu.
“Wah, kemana ya Si Mbah?” Pri dan semua yang di warung kopi
menjadi penasaran
“Bagaimana jika lepas dzuhur kita tengok beliau, sekalian
nanti kita shalat Dzuhur di surau” Saran Tri.
“Ide bagus, rasanya sudah lama yah aku tak pergi ke surau”
Ujar Ipul bermuhasabah
“Hanya Si Mbah yang menghidupi surau, sendirian. Kasihan
yah” Pri ikut bermuhasabah juga
“Malu aku, jarak rumahku lebih dekat ke surau daripada rumah
Si Mbah” Tripun tak mau ketinggalan untuk bermuhasabah diri.
“Ah, Ayo ke Surau, Dzuhur sudah hampir menjelang” Kata Ipul.
Di ikuti teman-temannya yang juga beranjak dari tempat duduknya untuk pergi ke
surau. Setelah membayar kopinya masing-masing akhirnya mereka meniti langkah ke
surau.
“Kok belum adzan juga yah? Harusnya dzuhur sudah masuk
waktunya. Seperti biasa Si Mbah kan On Time” komentar Tri
“Tuhkan berarti bener Si Mbah sakit..” Kata Pri sok tahu.
Ketiga pemuda tersebut lalu mempercepat langkahnya menuju surau.
“Astagfirullah” pekik Ipul saat memasuki pintu surau,
membuat kedua konconya segera menghampiri Ipul yang nampak shock
“Ada ap.. Astagfirullah Mbah” Tripun begitu, sama kagetnya.
Si Mbah telah tergeletak di surau, bukan sakitlah yang
membuat Mbah begini. Karena banyak darah di sekitar jenazah Si Mbah. Si Mbah
tiada karena tertimpa kayu atap surau yang sudah amat lapuk.
“Inalillahi wa inna ilaihi rajiun” Desah Ipul, Mendekati
jenazah pria paruh baya itu
“Insyaallah Si Mbah syahid” Lirih Tri
Tak bisalah menyalahkan rayap yang membuat kayu-kayu surau
lapuk, Si Mbah kini tiada. Jenazahnyapun akan segera di semayamkan setelah
warga sempat geger atas kematian Mbah Dudung ini. Tak ada yang bisa di
salahkan, Allah sudah menggariskan Syahidnya Mbah Dudung, yang meninggal di
Surau kesayangannya itu. Namun apakah setelah Mbah Dudung tiada adakah lagi
penduduk desa yang mau peduli akan surau tersebut? Adakah yang hedak meneruskan
tekad baik sang “lelaki surau”?
Betapa kita adalah manusia yang lalai, dan terkadang
meremehkan perbuatan baik seseorang. Seperti Mbah Dudung ini, yang jasanya di
abaikan. Astagfirullah..
Namun tak ada kata terlambat untuk berubah dan memperbaiki
segala, untuk mulai menghargai orang lain dan jasa-jasanya atau mungkin
membalas kebajikannya sedikit demi sedikit mungkin? Karena perbuatan (meski) sebesar biji sawi dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, Maka Allah akan
mendatangkan balasannya (Luqman:16)
Yowis, thanks udah baca, monggo komen ceritanya, kritik
saran ditunggu yah, buat Rafa yang masih pemula iniii.
And, the last,
Happy Fasting , Happy
Ramadhan 1433HJ